Nama : Nugroho Tri Atmojo
Kelas : 3EA16
NPM : 15209990
MATKUL : B.INDONESIA 2
Tulisan 3
Opini Transparansi SDA
Pemerintah
mengakui tidak memiliki data primer pertambangan mineral dan batubara sehingga
negara berpotensi dirugikan.
Sebelumnya, Dirjen Pajak mengatakan, guna
mencapai target penerimaan pajak 2012 sebesar Rp 1.032 triliun, pemerintah akan
mengintensifkan pemungutan pajak sumber daya alam (SDA), terutama migas,
mineral dan batubara, serta kelapa sawit. Ditjen Pajak akan menunjuk surveyor
independen untuk menyurvei sekitar 9.000 perusahaan tambang. Targetnya adalah
memperoleh data primer industri tambang, seperti daftar perusahaan, volume
produksi, volume ekspor, dan seterusnya, selain merupakan upaya meningkatkan
pengawasan.
Rencana Ditjen Pajak ini menunjukkan buruknya
pengelolaan penerimaan SDA selama ini. Hanya untuk membuat daftar semua
perusahaan tambang berikut data produksi, keuangan, dan pajak saja, pemerintah
tak becus. Mungkin juga karena ada oknum pejabat yang sengaja menyembunyikan
data, terlibat KKN, di samping penyelewengan oleh oknum perusahaan. Tak heran,
penerimaan negara jauh lebih rendah daripada seharusnya.
Penyebab kerugian
Berdasarkan perhitungan teoretis, rata-rata
penerimaan negara dari sektor mineral dan batubara 25 persen terhadap
pendapatan kontraktor. Karena itu, untuk produksi batubara 340 juta ton tahun
2011, semestinya negara memperoleh Rp 68 triliun. Ternyata, berdasarkan data
Ditjen Pajak, penerimaan negara dari tambang emas, tembaga, timah, batubara,
dan sebagainya hanya Rp 87 triliun.
Hal itu menunjukkan penerimaan negara dari
pertambangan sangat rendah dan kontraktor mendapat bagian jauh lebih besar.
Maka, Freeport pun berubah dari perusahaan gurem menjadi raksasa dunia. Menurut
majalah Forbes (11/2011), 12 dari 40 orang terkaya Indonesia adalah pengusaha
batubara.
Ada dua faktor utama penyebab kerugian negara
pada sektor SDA, yaitu aturan yang bermasalah dan moral hazard oknum pejabat
dan pengusaha. Hal ini tampak pada sejumlah penyelewengan berupa
kekurangan/penyembunyian data, transfer pricing, penggelembungan biaya (cost
recovery), penyalahgunaan tax treaty, manipulasi self-assessment,
transparansi/akuntabilitas yang rancu, serta inkonsistensi dan pelanggaran
aturan. Sebagian bukti penyelewengan ada dalam laporan BPK.
Terkait penyembunyian data, Kementerian ESDM
mengakui hanya menghitung hasil produksi batubara perusahaan tambang yang
terdaftar di pusat dan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) besar. Sementara
kuasa pertambangan (KP) kecil tidak dihitung. Yang terdaftar di pusat sekitar
80 persen dari total perusahaan. Berarti ada ratusan perusahaan tidak terkena
DMO.
Di sisi lain, pihak pemda juga tidak optimal
mengawasi dan memperoleh pajak. Menurut perkiraan Kementerian ESDM, produksi
batubara Indonesia 2012 adalah 332 juta ton. Asosiasi Pertambangan Batubara
Indonesia (APBI) menyebutkan produksi bisa mencapai 380 juta ton. Selisih data
ini jelas menunjukkan besarnya kerugian negara.
Terkait transfer pricing, mantan Direktur APBI
Priyo BS mengungkapkan, pengusaha sering menggunakan kontrak lama guna
menghindari pajak. Harga batubara yang dijual ke perusahaan terafiliasi di
bawah standar, padahal acuan harga kontrak lama sudah tidak relevan. Akibatnya,
setoran pajak jadi kecil.
Dalam hal penyelewengan cost recovery (CR),
BPKP tahun 2006 pernah melaporkan potensi kerugian negara periode 2000-2005
sekitar Rp 9,37 triliun oleh 43 KPS. BPK (2007) juga melaporkan potensi
kerugian negara dari penggelembungan CR periode 2000-2006 senilai Rp 18,07
triliun. Namun, hingga kini kedua kasus tersebut tidak pernah ditindaklanjuti.
Padahal, hasil audit telah dilaporkan ke DPR dan pemerintah, termasuk kejaksaan
dan kepolisian.
Beda tafsir
Terkait tax treaty, perbedaan penafsiran tarif
pajak adalah penyebab kecilnya penerimaan pajak migas. Tarif yang dipakai
kontraktor adalah tarif PPh pada tax treaty (Perjanjian Pencegahan Pajak
Berganda/P3B) yang lebih murah daripada tarif pemerintah berdasarkan UU No
36/2008 tentang PPh 20 persen.
Solusinya adalah dengan menerapkan PPh
ditambah pajak dividen dan royalti sehingga secara umum total pajak yang harus
dibayar 44 persen. Sementara pajak PPN, PBB, dan PDRD dibayar oleh negara
dengan mengambil dana dari bagian penerimaan migas. Namun, hal ini tak kunjung
diselesaikan pemerintah. Padahal, berdasarkan laporan KPK (Juli, 2011), ada 14
perusahaan migas asing menunggak pembayaran pajak Rp 1,6 triliun.
Tentang self-assessment, reformasi perpajakan
pada 1983 telah menetapkan penggunaan sistem self-assessment. Wajib pajak
dipercaya menghitung dan membayar pajak sendiri sesuai data yang dimiliki.
Berapa pun pajak yang dibayar dianggap benar sepanjang tidak ada data lain.
Pemerintah tidak bisa menguji kebenaran perhitungan wajib pajak jika tidak
memiliki data lain.
Sistem ini berpotensi ”dimanfaatkan” wajib
pajak untuk membayar pajak sekehendak hati. Karena itu, pemerintah harus
memiliki data sendiri.
Dalam hal transparansi data, pemerintah
sengaja tidak menampilkan dan membuka secara transparan rincian penerimaan
negara dari pajak mineral dan batubara dalam setiap penyampaian APBN. Padahal,
sejalan dengan prinsip transparansi pendapatan industri ekstraktif (Perpres No
26/2010), informasi tersebut harus disampaikan ke publik sekaligus mencegah
KKN.
Sebenarnya telah banyak UU atau PP baru guna
meningkatkan penerimaan negara, seperti PP No 45/2003 tentang PNBP, UU No
28/2007 tentang KUP, serta UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara.
PP No 45/2003, misalnya, memerintahkan
kenaikan royalti emas dan tembaga dari masing-masing 1 persen jadi 3,75 persen
dan 4 persen. Namun, pemerintah takut memberlakukannya kepada sejumlah
perusahaan besar seperti Freeport atau Newmont. Pasal 35A UU No 28/2007
memerintahkan pengumpulan data berbagai sumber guna pengujian data
self-assessment pajak. Namun, PP turunan dari UU tersebut tak kunjung
diterbitkan.
Yang paling mengecewakan, pelaksanaan UU No
4/2009. Meskipun sudah tiga tahun lebih ditetapkan, pemerintah belum juga mampu
memberlakukan perintah UU tersebut kepada kontraktor besar, seperti Freeport,
Newmont, KPC, dan Adaro.
Presiden SBY telah menyatakan pemerintah akan
merenegosiasi kontrak-kontrak mineral dan batubara, tetapi hingga kini hasilnya
belum tampak. Bahkan, beredar kabar bahwa renegosiasi akan dihentikan. Jika ini
terjadi, berarti perintah UU dan konstitusi dilanggar dan kedaulatan negara
dilecehkan. Mungkin penunjukan surveyor pajak juga akan bernasib sama.
Ke depan, aktivitas surveyor saja tidak cukup.
Beberapa aturan harus diperbaiki dan peraturan yang berlaku harus dijalankan
secara konsisten. Untuk itu, dibutuhkan ketegasan dan keberanian pemerintah.
SDA negara seharusnya dimanfaatkan secara adil untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat, bukan pengusaha dan pemburu rente.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar